Babak 32-besar dengan bentuk fase grup mulai di perkenalkan di Liga Champion sejak muusim 1999-00, format ini kemudian di pertajam pada musim 2003-04 dimana hanya pada babak 32-besar saja yang menggunakan sistem grup. Sedangkan fase selanjutnya hingga semi-final menggunakan sistem knock out. Sesuai dengan namanya, fase grup atau babak 32-besar bukanlah babak hitup dan mati di kompetisi ini. Tim-tim yang tergabung dalam delapan grup punya kesempatan yang sama memainkan enam pertandingan untuk memperebutkan jatah dua tiket ke babak 16 besar.
Banyak tim-tim besar yang menyepelekan kadar persaingan di fase grup. Apalagi secara tradisi memang jarang ada tim-tim besar yang tersisih di babak ini. Tapi, gase grup tetap tak bisa disepelekan begitu saja karena pada babak inilah ketahanan dengan endurance sebuah tim benar-benar di uji. Jika tidak hati-hati, tim bisa terpeleset tidak terkecuali bagi tim-tim favorit.
Salah satu contoh betapa berbahayanya fase grup bisa di lihat pada musim 2005-06, dimana pada saat ini dunia sepak bola di kejutkan oleh kegagalan Manchester United di babak penyisihan grup. Bukan sekadar tidak lolos, Setan Merah dari Inggris yang digadang-gadangkan oleh banyak rumah taruhan sebagai salah satu unggulan justru terpuruk di dasar kelasmen. "Pengalaman telah mengajarkan kami bahwa tidak ada yang mudah di Liga Champion. Fase grup atau 32-besar sama berbahayanya dengan fase-fase lainnya," kata Manajer Manchester United, Sir Alex Ferguson.
Nasihat Fergi --sapaan Ferguson-- wajib di dengarkan oleh pelatih tim-tim besar lainnya. Maklum, Liga Champion termasuk babak 32-besarnya punya fenomena unik yang sulit untuk di terima akal sehat. Di ajang ini tim-tim kecil permainannya sering berubah menjadi lebih menakutkan dari biasanya. Kenapa bisa begitu ? Penyabab utamanya tentu adalah prize money yang begitu menggoda. Setiap poin yang di hasilkan di babak ini menghasilkan uang ratusan ribu euro. Sangat wajar kalau banyak tim-tim kecil yang menampilkan wajah yang berbeda dari biasanya untuk meraih hadiah tersebut.
Layaknya sebuah kompetisi penuh yang memainkan partai kandang dan tandang (home away), ada angka aman yang harus di raih oleh sebuah tim agar bisa tetap eksis di panggung kejuaraan kompetisi terakbar di jagat raya ini. Berdasarkan data dan statistik sejak 2003-04, poin terendah yang bisa mengantarkan sebuah tim untuk lolos dari fase grup adalah tujuh poin. Hal itu terjadi pada fase grup 2005-06 dimana Glasgow Rangers (Grup H) dan Werder Bremen (Grup C) melaju ke babak selanjutnya dengan bermodalkan tujuh poin.
Meski koleksi tujuh poin sudah pernah meloloskan sebuah tim dari babak penyisihan grup, angka tersebut bukanlah angka aman untuk tetap eksis di panggung Liga Champion. Pasalnya pada beberapa kasus koleksi delapan bahkan sembilan poin pun masih sering mengalami kegagalan untuk lolos ke babak selanjutnya. Koleksi poin agar tetap bisa berkiprah di panggung LC adalah 11. Terhitung sejak 2003-04, tim yang mampu mengoleksi 11 poin di pastikan melaju ke babak selanjutnya. 10 poin sebenarnya sudah termasuk syarat minimal untuk lolos, setidaknya sejakn 2003-04 hanya Werder Bremen (2006-07) dan Dinamo Kyiv (2004-05) yang gagal lolos setelah meraih 10 poin.
Selain berdasarkan poin, jumlah kekalahan juga ikut berperan dalam kelangsungan hidup sebuah tim di LC. Berdasarkan data sejak 2004-05 tim yang mengalami dua kekalahan memiliki peluang tipis untuk lolos ke babak 16 besar. Beberapa pengecualian memang masih muncul tapi jumlahnya masih sedikit. Setidaknya tidak sampai tujuh tim yang mengalami kejadian tersebut, salah satunya adalah Glasgow Celtic pada musim 2007-08.
Kewajiban meraih 11 poin dan tidak boleh kalah lebih dari dua kali, jelas bukanlah tugas ringan di kompetisi seketat Liga Champion. Oleh karena itu, fase grup atau babak 32-besar tidak boleh lagi di pandang remah meski untuk tim besar sekalipun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar